1. Rektor
- Prof. Dr. Ermaya Suradinata, MSi, MH.
2. Pjs. Pembantu Rektor 1
- Prof. Dr. Muh. Nur Sadik, MPM
3. Wakil Rektor 2
- Drs. Matias Zakaria, MSi, Ak.
4. Wakil Rektor 3 :
- Sendy Widjaja, MBA.
5. Wakil Rektor 4 :
- Dr. Sahala Parlindungan Siahaan, PG.Dipl.Bus, M.Bus.
6. Dekan Fakultas Ekonomi
- Drs. Jozef Raco, MSc
7. Dekan Fakultas Electronic Engineering
- Hendra Tarigan, M.S.
8. Dekan Fakultas Computer
- Dr. Rila Mandala, MSc., Ph.D
9. Pjs. Dekan Fakultas Communication
- Hendra Manurung, MA
10. Head of Internship & Industrial Relation
- Maria Jacinta, MMGT-HRM
11. Some of Our Lecturers:
• Maria Jacinta, MMGT-HRM
• Nur Hadisukmana, MSc
• Andrew Stewart Mewburn
• Paul Preston
• Ir. Erny Hutabara, MBA
• Ir. BMAS Anaconda Bangkara, MTI
• Dr. Erwin Ramedhan
• Dr. Erwin Parasian Sitompul, ST., MSc
• Anthon Stevanus Tondo, SE, MBA
• Joachim D. Kokomaking, MSi.
• Herwan Yusmira, BSc.MET, Dipl.-Mtech
• Dr. Maximus Renyaan, MA
• Manivasugen, MBA, DISM
• Sandy Darmowinoto, MIT
• Drs. Bruno Rumyaru, MA
• Hendra Manurung, MA
• Mahayoni, SH
• Antonius Suhartomo, MEng., MM, Ph.D.
• Rikip Ginanjar, MSc.
• Aditia Rusmawan, MSc.
• Purwanto, ST, MM.
• Moh. Irfan Sofyan, SE., MA
• Yayas Murdowo, SE, CPMA
• Choirul Anwar SE Ak, MBA, MAFIS
• Dian Tauriana, SE, MSc.
• Hery Hamdi Azwir, MT.
• Yunita Ismail Masjud, MBA
• Dian Tauriana, MSc.
• Gan Thay Kong, Dipl. Wirt. Ing.
• Marc Carmichael Brown, MA

Friday, February 20, 2009
Thursday, February 19, 2009
Faculties Available at President University
1. Faculty of Economics
a) Management
Concentration:
0 Marketing
0 Banking and Finance
0 Hotel and Tourism
0 Human Resources
0 International Business
b) Accounting
2. Faculty of Communication
a) Public Relations
b) Visual Communication Design
3. Faculty of Computing
a) Information Technology
b) Information System
4. Faculty of Engineering
a) Industrial Engineering
b) Electrical Enginerring
5. Faculty of Social and Political Sciences
a) International Relation
b) Business Administration
Kehilangan Terbesar Bangsa Indonesia
Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk R&D (Research and Development) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Saat ini memasuki perguruan tinggi berarti membeli jasa pendidikan tinggi. Keputusan memilih sebuah Perguruan Tinggi merupakan suatu keputusan investasi. Investasi itu harus menguntungkan konsumen setelah dinyatakan lulus oleh Perguruan Tinggi. Karena selain membutuhkan dana yang besar, kuliah di perguruan tinggi juga menghabiskan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, konsumen pendidikan tinggi harus memiliki strategi memilih suatu Perguruan Tinggi yang baik dan berkualitas.
Mengapa saat ini, banyak orang yang ingin KULIAH ke luar negeri ?
Dua penyebab utamanya adalah perusahaan-perusahaan di seluruh dunia semakin menyadari bahwa pendidikan internasional makin penting di perekonomian global, dan globalisasi karir juga memaksa masyarakat mengambil kualifikasi internasional agar tidak ketinggalan. Saat ini kuliah ke luar negeri menjadi pilihan, baik untuk program S1 maupun jenjang studi yang lebih tinggi. Beberapa negara menawarkan program bantuan atau beasiswa pendidikan ke luar negeri.
Setelah Lulus SMU mau ke mana ?. Bagi yang ingin meneruskan kuliah, salah satu alternatif adalah menimba ilmu di luar negeri. Ketakutan tentang biaya kuliah yang mahal tidak lagi jadi satu alasan untuk melirik peluang ke sana. Hal ini diungkapkan oleh Rendy Djauhari, PR & Marketing Coordinator Nederlands Education Centre (NEC). "Segi harga cukup kompetitif dengan negara lain bahkan dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia".
Selama ini, pemerintah Indonesia tampaknya menyia-nyiakan dana pendidikan menguap ke luar negeri yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Yang menguap ini adalah biaya studi anak bangsa ke luar negeri. Padahal, dana itu tidak akan pergi, jika pemerintah menerapkan kebijakan transfer kredit. Mengutip pernyataan Sudino Lim, CEO INTI COLLEGE INDONESIA, bahwa setidaknya hampir 18 ribu mahasiswa Indonesia yang studi ke Australia, setiap tahunnya. Di Negeri Kangguru tersebut, untuk menempuh gelar S1 butuh waktu minimal 3,5 tahun. Biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 800 juta. Jika ditotal, biaya tersebut sudah mencapai triliunan rupiah. Semuanya masuk ke devisa Australia. Itu baru biaya pendidikannya, belum lagi apabila mahasiswa tersebut mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal atau beli apartemen, pariwisata, jalan-jalan dan biaya makan serta biaya hidup lainnya di sana. Ternyata biaya mahasiswa Indonesia yang belajar disana telah menyumbangkan 10 persen dari APBN Australia.
Bagaimana dengan negara tetangga Indonesia ?. Kita ambil contoh Singapura dan Malaysia. Pemerintah Singapura dan Malaysia untuk mencegah mahasiswanya belajar ke luar negeri, mereka menerapkan transfer kredit yaitu dengan program 1+ 2, 2+1, 2+ 2 atau 3+ 0 artinya (lihat tabel).
Program Keterangan
1 + 2 Belajar 1 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 2 tahun di luar negeri + Wisuda
2 + 1 Belajar 2 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 1 tahun di luar negeri + Wisuda
2 + 2 Belajar 2 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 2 tahun di luar negeri + Wisuda
3 + 0 Belajar 3 tahun di dalam negeri, kemudian wisuda diluar negeri (alternatif)
Metode transfer kredit adalah sistem memindahkan standar studi kurikulum luar negeri ke dalam negeri yang berdampak pada penghematan biaya pendidikan. Caranya, kampus di dalam negeri bekerja sama dengan kampus-kampus besar & terkenal serta mempunyai reputasi akademik yang bagus di luar negeri, kemudian kampus di dalam negeri tersebut menerapkan sistem studi yang berstandar kurikulum luar negeri dalam batas waktu tertentu. Mulai dari proses penerimaan mahasiswa baru, bahasa pengantar, kurikulum, silabus mata kuliah harus sesuai dengan yang digunakan di kampus luar negeri tersebut.
Meskipun kurikulum internasional dan metode transfer kredit telah diterapkan di PRESIDENT UNIVERSITY, ironisnya, pemerintah Indonesia malah belum menyadari pentingnya hal tersebut. Pemerintah membiarkan putra-putri bangsa ini belajar ke luar negeri dengan cara konvensional. Yaitu begitu lulus SMA, mereka antri untuk mendapatkan beasiswa, agar bisa belajar ke luar negeri, atau, orangtua siswa, mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk studi anaknya ke luar negeri. Selain negara tetangga Indonesia, di beberapa negara di asia juga telah menerapkan kebijakan transfer kredit.
Dengan sistem transfer kredit tersebut, sudah terasa berapa besarnya biaya yang bisa dicegah untuk tidak menguap ke luar negeri. Karena dengan sistem tersebut selain biaya pendidikan bisa ditekan, juga kebocoran devisa negara di sektor pendidikan tinggi bisa ditahan. Selain itu pula biaya pendidikan akan sangat murah karena masing-masing kampus di Australia mensubsidi biaya pendidikan hingga 75 persen dari biaya sebenarnya. Dengan sistem transfer kredit, uang yang seharusnya lari ke luar negeri bisa berputar-putar di negeri sendiri, sehingga secara tidak langsung menjadi devisa negara. Sekarang bayangkan manfaat besarnya kalau kita bisa menciptakan universitas berstandar internasional di negeri kita sendiri?
Disisi lain, informasi tentang peluang kerja di luar negeri juga cukup besar dan banyak, khususnya peluang kerja di bidang teknologi informasi. Sebagai gambaran bahwa kebutuhan terhadap tenaga IT di bidang industri software baik di luar negeri maupun di dalam negeri, adalah sebagai berikut : Tenaga IT di luar negeri, untuk tahun 2015, diperkirakan 3,3 juta lapangan kerja. Sedangkan Tenaga IT domestik, berdasarkan proyeksi pertumbuhan industri pada tahun 2010, target produksi US $8.195.33 dengan asumsi produktifitas 25.000 perorang, sehingga dibutuhkan tenaga kerja sekitar 327.813 orang.
Selain contoh di atas, kita ambil negara lain seperti Jerman. Jumlah yang dibutuhkan juga tidak dibilang sedikit. Tercatat saat ini sekitar 75.000 orang diperlukan oleh Jerman. itu baru Jerman, kita lihat India. Negara India membutuhkan tenaga di bidang TI sebanyak 120.000 orang. Tahukah Anda ternyata negara sebesar dan semaju Amerika Serikat pun masih mengimpor tenaga TI dari negara-negara di Asia, seperti Cina, Jepang, Korea, Philipina, Singapura dan Malaysia. Nah, bagaimana dengan Indonesia ???.
Bangsa Indonesia hanya akan bangkit jika bangsa ini mengenali kembali jati dirinya yang telah dilupakan. Bangsa Indonesia akan berjaya kembali jika nilai-nilai luhur yang pernah ada kembali tampil memimpin kembali bangsa ini menuju cita-citanya. Masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita berdirinya bangsa Indonesia hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras dan juga proses pengenalan kembali jati diri bangsa. Dengan mengenal jati dirinya bangsa ini akan tahu kelemahan-kelemahan apa yang selama ini melekat erat, kelebihan dan kekuatan apa saja yang selama ini dimiliki dan masih juga dilupakan. Terbitnya kesadaran pada kelemahan dan kekuatan yang dimiliki, akan membuat bangsa Indonesia mengerti kearah mana dia harus melangkah. Dan jika tahu kearah mana akan melangkah, maka bangsa ini akan berjuang keras bergerak menuju arah tujuan hidupnya.
(Dari berbagai narasumber)
Mengapa saat ini, banyak orang yang ingin KULIAH ke luar negeri ?
Dua penyebab utamanya adalah perusahaan-perusahaan di seluruh dunia semakin menyadari bahwa pendidikan internasional makin penting di perekonomian global, dan globalisasi karir juga memaksa masyarakat mengambil kualifikasi internasional agar tidak ketinggalan. Saat ini kuliah ke luar negeri menjadi pilihan, baik untuk program S1 maupun jenjang studi yang lebih tinggi. Beberapa negara menawarkan program bantuan atau beasiswa pendidikan ke luar negeri.
Setelah Lulus SMU mau ke mana ?. Bagi yang ingin meneruskan kuliah, salah satu alternatif adalah menimba ilmu di luar negeri. Ketakutan tentang biaya kuliah yang mahal tidak lagi jadi satu alasan untuk melirik peluang ke sana. Hal ini diungkapkan oleh Rendy Djauhari, PR & Marketing Coordinator Nederlands Education Centre (NEC). "Segi harga cukup kompetitif dengan negara lain bahkan dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia".
Selama ini, pemerintah Indonesia tampaknya menyia-nyiakan dana pendidikan menguap ke luar negeri yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Yang menguap ini adalah biaya studi anak bangsa ke luar negeri. Padahal, dana itu tidak akan pergi, jika pemerintah menerapkan kebijakan transfer kredit. Mengutip pernyataan Sudino Lim, CEO INTI COLLEGE INDONESIA, bahwa setidaknya hampir 18 ribu mahasiswa Indonesia yang studi ke Australia, setiap tahunnya. Di Negeri Kangguru tersebut, untuk menempuh gelar S1 butuh waktu minimal 3,5 tahun. Biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 800 juta. Jika ditotal, biaya tersebut sudah mencapai triliunan rupiah. Semuanya masuk ke devisa Australia. Itu baru biaya pendidikannya, belum lagi apabila mahasiswa tersebut mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal atau beli apartemen, pariwisata, jalan-jalan dan biaya makan serta biaya hidup lainnya di sana. Ternyata biaya mahasiswa Indonesia yang belajar disana telah menyumbangkan 10 persen dari APBN Australia.
Bagaimana dengan negara tetangga Indonesia ?. Kita ambil contoh Singapura dan Malaysia. Pemerintah Singapura dan Malaysia untuk mencegah mahasiswanya belajar ke luar negeri, mereka menerapkan transfer kredit yaitu dengan program 1+ 2, 2+1, 2+ 2 atau 3+ 0 artinya (lihat tabel).
Program Keterangan
1 + 2 Belajar 1 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 2 tahun di luar negeri + Wisuda
2 + 1 Belajar 2 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 1 tahun di luar negeri + Wisuda
2 + 2 Belajar 2 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 2 tahun di luar negeri + Wisuda
3 + 0 Belajar 3 tahun di dalam negeri, kemudian wisuda diluar negeri (alternatif)
Metode transfer kredit adalah sistem memindahkan standar studi kurikulum luar negeri ke dalam negeri yang berdampak pada penghematan biaya pendidikan. Caranya, kampus di dalam negeri bekerja sama dengan kampus-kampus besar & terkenal serta mempunyai reputasi akademik yang bagus di luar negeri, kemudian kampus di dalam negeri tersebut menerapkan sistem studi yang berstandar kurikulum luar negeri dalam batas waktu tertentu. Mulai dari proses penerimaan mahasiswa baru, bahasa pengantar, kurikulum, silabus mata kuliah harus sesuai dengan yang digunakan di kampus luar negeri tersebut.
Meskipun kurikulum internasional dan metode transfer kredit telah diterapkan di PRESIDENT UNIVERSITY, ironisnya, pemerintah Indonesia malah belum menyadari pentingnya hal tersebut. Pemerintah membiarkan putra-putri bangsa ini belajar ke luar negeri dengan cara konvensional. Yaitu begitu lulus SMA, mereka antri untuk mendapatkan beasiswa, agar bisa belajar ke luar negeri, atau, orangtua siswa, mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk studi anaknya ke luar negeri. Selain negara tetangga Indonesia, di beberapa negara di asia juga telah menerapkan kebijakan transfer kredit.
Dengan sistem transfer kredit tersebut, sudah terasa berapa besarnya biaya yang bisa dicegah untuk tidak menguap ke luar negeri. Karena dengan sistem tersebut selain biaya pendidikan bisa ditekan, juga kebocoran devisa negara di sektor pendidikan tinggi bisa ditahan. Selain itu pula biaya pendidikan akan sangat murah karena masing-masing kampus di Australia mensubsidi biaya pendidikan hingga 75 persen dari biaya sebenarnya. Dengan sistem transfer kredit, uang yang seharusnya lari ke luar negeri bisa berputar-putar di negeri sendiri, sehingga secara tidak langsung menjadi devisa negara. Sekarang bayangkan manfaat besarnya kalau kita bisa menciptakan universitas berstandar internasional di negeri kita sendiri?
Disisi lain, informasi tentang peluang kerja di luar negeri juga cukup besar dan banyak, khususnya peluang kerja di bidang teknologi informasi. Sebagai gambaran bahwa kebutuhan terhadap tenaga IT di bidang industri software baik di luar negeri maupun di dalam negeri, adalah sebagai berikut : Tenaga IT di luar negeri, untuk tahun 2015, diperkirakan 3,3 juta lapangan kerja. Sedangkan Tenaga IT domestik, berdasarkan proyeksi pertumbuhan industri pada tahun 2010, target produksi US $8.195.33 dengan asumsi produktifitas 25.000 perorang, sehingga dibutuhkan tenaga kerja sekitar 327.813 orang.
Selain contoh di atas, kita ambil negara lain seperti Jerman. Jumlah yang dibutuhkan juga tidak dibilang sedikit. Tercatat saat ini sekitar 75.000 orang diperlukan oleh Jerman. itu baru Jerman, kita lihat India. Negara India membutuhkan tenaga di bidang TI sebanyak 120.000 orang. Tahukah Anda ternyata negara sebesar dan semaju Amerika Serikat pun masih mengimpor tenaga TI dari negara-negara di Asia, seperti Cina, Jepang, Korea, Philipina, Singapura dan Malaysia. Nah, bagaimana dengan Indonesia ???.
Bangsa Indonesia hanya akan bangkit jika bangsa ini mengenali kembali jati dirinya yang telah dilupakan. Bangsa Indonesia akan berjaya kembali jika nilai-nilai luhur yang pernah ada kembali tampil memimpin kembali bangsa ini menuju cita-citanya. Masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita berdirinya bangsa Indonesia hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras dan juga proses pengenalan kembali jati diri bangsa. Dengan mengenal jati dirinya bangsa ini akan tahu kelemahan-kelemahan apa yang selama ini melekat erat, kelebihan dan kekuatan apa saja yang selama ini dimiliki dan masih juga dilupakan. Terbitnya kesadaran pada kelemahan dan kekuatan yang dimiliki, akan membuat bangsa Indonesia mengerti kearah mana dia harus melangkah. Dan jika tahu kearah mana akan melangkah, maka bangsa ini akan berjuang keras bergerak menuju arah tujuan hidupnya.
(Dari berbagai narasumber)
Subscribe to:
Posts (Atom)