Thursday, April 2, 2009

LEARNING REVOLUTION

Apabila Tung Desem Waringin, salah satu motivator hebat di Indonesia, pernah membuat buku dengan judul sensasional FINANCIAL REVOLUTION, maka saya ingin mengikuti jejak beliau dengan judul yang tidak kalah sensasional LEARNING REVOLUTION!

Mengapa saya membuat tulisan dengan judul LEARNING REVOLUTION adalah murni dari keperihatinan saya melihat cara belajar putra/i Indonesia dan tentu saja sistem pendidikan yang 'mendidik' mereka untuk bertindak demikian.

Dalam tulisan ini, perlu saya highlight beberapa point yang harus dirubah dari culture bangsa kita:
1. Menghafal, dan
2. Takut Salah

Dalam hal ini, saya menggarisbawahi kata 'menghafal' sebagai budaya yang harus segera dirubah. Namun demikian, mari kita lihat sistem yang mendidik putra/i berbakat Indonesia untuk berlaku demikian:

1. MULTIPLE CHOICE
Multiple Choice atau Pilihan Ganda mendidik kita untuk berpikir secara logis bahwa setiap soal (baca: permasalahan) hanya memiliki satu jawaban (baca: solusi) yang benar. Padahal, kenyataannya di dunia, setiap permasalahan dapat memiliki segudang solusi dan alternative penyelesaian!
Yang lebih miris lagi adalah, Multiple Choice juga memberikan pesan yang cukup bermakna bagi semua orang bahwa yang tidak kompeten pun bisa sukses (baca: menjawab benar!). Bagaimana? Tentu saja dengan metode hitung kancing!
Lalu, apabila Multiple Choice itu tidak baik mengapa diterapkan? Jawabannya cukup sederhana, banyak pengajar kita yang malas untuk membuat apalagi setelahnya memeriksa soal berbentuk essay. Butuh waktu dan tenaga apalagi jika muridnya sangat banyak.

2. ESSAY
Mereka yang berani membuat soal model essay patut diacungkan jempol. Namun demikian, pertanyaannya ini sebenarnya selalu mengarah ke hal yang sama bahwa: setiap permasalahan hanya memiliki satu solusi. Kenapa? Coba lihat baik-baik bagaimana para pengajar ini membuat pertanyaan: "Apa pengertian dari..." atau "Jelaskan pengertian dari..." atau "Coba jabarkan..." dan berbagai variasi lain yang intinya adalah menanyakan pengertian akan suatu hal atau penjabaran akan sesuatu yang jawabannya pasti dan tertulis jelas di buku. Tampaknya para pengajar ini telah membuat hal yang berbeda dengan menghindari multiple choice tapi pada intinya adalah sama saja...
Bagaimana seorang pengajar bisa mengharapkan anak didiknya untuk berpikir kreatif apabila pertanyaannya pun tidak menunjang otak mereka untuk berlaku kreatif? Bahasa Inggrisnya adalah "As above so below!" atau "Sepertinya halnya di atas begitu juga yang di bawahnya!"
Konsekuensinya adalah murid lebih senang menghafal (kalau perlu titik dan komanya) karena menghindari resiko takut salah!
Alhasil dari sistem menghafal ini adalah murid sering lupa apa yang telah dipelajarinya (karena hanya menghafal bukan mengerti!). Jika anda computer tentulah habis di delete anda bisa telusuri recyle bin untuk me recover data yang hilang. Tapi bagaimana kenyataannya? Setelah lupa, amatlah sulit untuk mengingat pelajaran yang telah silam.

3. IPA dan IPS (baca: Si Pintar dan Si Bodoh)
Khususnya di tingkat SMA, saya sangat menyesali bagaimana sekolah menggolongkan muridnya ke dalam basis IPA atau IPS murni berdasarkan perolehan nilai sang murid bukan kepada keinginan dan motivasi. Apabila pihak sekolah menggolongkan murid yang masuk IPA karena nilainya bagus, maka sebagai konklusinya adalah mereka yang tidak memiliki nilai yang cukup bagus harus mau belajar di IPS. Ahasil timbulah suatu pemahaman bahwa yang pintar pasti IPA dan yang bodoh adalah IPS. Benar? Akuilah.
Pendidikan kita telah gagal mengevaluasi murid seutuhnya tidak hanya dari kemampuan exacta tapi juga kemampun non-exacta. Pada akhirnya, kesuksesan seseorang bukan ditentukan dengan apakah ia mendapatkan nilai baik di Matematika, Fisika, dan Kimia tapi kepada PERANAN mereka di tengah masyarakat!

Apabila dilihat lebih jauh lagi, budaya pendidikan di Indonesia sama halnya dengan pendidikan di Cina (paling tidak Cina tempo dulu) yang lebih mengedepankan hafalan. Sistem hafalan mereka ini (baca: copy and paste)tercermin pula dalam produknya. Sebutlah handphone, televisi, pemutar DVD dan banyak produk elektronik lainnya (mengagumkan namun adakah yang inovasi? masih bisa dihitung jari). Keunggulan mereka adalah mampu membuat produk dengan kualitas yang cukup sama namun dengan harga yang lebih murah...

Jika mau belajar, contohlah orang Jepang yang super kreatif. Kegagalan mereka pada perang dunia ke 2 menjadi batu loncatan untuk menguasai dunia dengan teknologi! Perlu diketahui bahwa Jepang membangun negerinya dengan satu pertanyaan: "Mengapa kita bisa kalah?". Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang positif dan membangun (self reflection). Jepang tidak berusaha menyalahkan negara lain atas kekalahannya... Sebagai gantinya, mereka tiru metode mengajar dari luar negeri namun dengan penyesuaian di sana sini. Copy and Modify! Kreatif? Kreatif dong!

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Jika kita menemui kegagalan, cenderung kita menanyakan hal seperti ini: apa yang menjadi masalah, kenapa masalah itu bisa terjadi, dan siapa yang menyebabkan masalah tersebut?? Yang kita bicarakan adalah masalah bukan solusi! yang kita cari bukan solusi tapi si pembuat masalah! Pemikiran seperti ini cenderung merusak dan tidak mampu membawa bangsa kita ke arah yang lebih baik.

Mari kita kembali ke trek semula. Learning Revolution! Kita mau merubah budaya-budaya tersebut namun harus ada alat atau media yang mampu membawa perubahan tersebut. Ingatlah apa yang saya katakan semula: As Above So Below! Jangan mengharapkan anak didik anda untuk kreatif apabila anda sendiri tidak mampu memberi contoh kreativitas itu sendiri.

President University menyadari hal tersebut. Maka diterapkanlah beberapa solusi:

1. CASE STUDY
Mahasiswa/i diajak untuk berpikir kreatif dengan memberikan pendapat mereka dan solusi terhadap suatu kasus yang terjadi di masa silam. Pendapat dan solusinya bisa beraneka ragam. Uniknya adalah jawaban mereka tidak ada yang benar atau yang salah. Yang ada adalah tepat atau kurang tepat! Ini tentu saja mampu menepis budaya multiple choice kita dimana hanya ada satu jawaban yang benar terhadap satu permasalahan.

2. OPEN BOOK SYSTEM
President University adalah satu-satunya kampus yang menerapkan sistem BUKA BUKU ketika ujian. Dengan kata lain, mahasiswa/i diperbolehkan membawa text book sebanyak yang mereka mau ke dalam ruang ujian. Hal ini bukanlah untuk mendidik mereka menjadi bodoh namun mendidik agar TIDAK MENGHAFAL! Mahasiswa/i dipersilahkan membawa buku sebanyak yang mereka mau sebagai referensi namun pertanyaannya lah yang sangat kreatif! Soal dirancang sedemikian rupa sehingga bukan definisi/pemikiran dari si A atau si B yang keluar di lembar jawaban tapi pemikiran kreatif dari si murid!

3. UNIQUE SCORING SYSTEM
Pernah menonton film HARRY POTTER? Tentu kamu tahu bahwa murid-muridnya tidak hanya dinilai dari ujian saja tapi juga PERANAN mereka terhadap major mereka itu sendiri. Alhasil, Harry Potter yang tidak lebih pintar dari HERMIONE di bidang akademik bisa mendapatkan nilai yang tidak kalah bagusnya dan bahkan di akhir cerita lulus sebagai lulusan terbaik di Hogwartz.
Lalu? Begitulah sistem penilaian di PRESIDENT UNIVERSITY. Murid dinilai tidak hanya di bidang akademik tapi dari faktor-faktor lain seperti: Kemampuan berkomunikasi, memimpin, kreativitas, sikap dan lain sebagainya. Jadi bagi yang merasa gagal di ujian jangan menyerah dulu. Dunia belum kiamat karena kamu masih bisa tingkatkan diri di aspek lainnya.

4. REVERSED SCORING
Bosen di nilai terus di kelas? Yakin kamu gagal karena pengajar yang buruk? di President University, bukan hanya kamu yang dinilai performanya tapi juga dosennya. Siapa yang nilai? Ya kamu sendiri dong! Tidak perlu takut karena nama kamu tidak akan ada di questionnaire yang diberikan oleh pihak akademik. Intinya adalah supaya tenaga pengajar kami terus termotivasi dan yang terpenting adalah mau berubah ke arah yang lebih baik. Dosen itu sudah merasa puas dengan dirinya padahal 70% muridnya gagal? Ok, pintu President University terbuka lebar agar dia segera keluar karena masih banyak dosen berkualitas yang mengantri untuk mengajar di sini. Prinsip kami adalah apabila hanya sekelompok murid yang gagal di mata pelajaran tersebut, tentulah kesalahan terletak pada sistem belajar si murid. Namun, apabila banyak yang gagal dalam mata pelajaran tersebut, maka kesalahan tentulah terletak pada bagaimana sang dosen mengajar! KILLER LECTURERS MAY SAY GOOD BY!

Saya rasa itulah beberapa solusi yang ditawarkan President University untuk saat ini (dan tentu saja menunggu untuk dicontek oleh universitas lainnya). Kami selalu tekankan kepada mahasiswa/i kami bahwa MENCOBA ITU TIDAK MENGAPA daripada MENGAPA TIDAK MENCOBA. Diharapkan, dengan culture yang diterapkan di universitas kami mampu membawa perubahan kepada cara belajar mahasiswa: LEARNING REVOLUTION!

Link ini sangat berguna:
http://www.facebook.com/inbox/?ref=mb#/group.php?gid=48264765818

Friday, February 20, 2009

PEJABAT & STAFF PENGAJAR PRESIDENT UNIVERSITY 2009

1. Rektor
- Prof. Dr. Ermaya Suradinata, MSi, MH.

2. Pjs. Pembantu Rektor 1
- Prof. Dr. Muh. Nur Sadik, MPM

3. Wakil Rektor 2
- Drs. Matias Zakaria, MSi, Ak.

4. Wakil Rektor 3 :
- Sendy Widjaja, MBA.

5. Wakil Rektor 4 :
- Dr. Sahala Parlindungan Siahaan, PG.Dipl.Bus, M.Bus.

6. Dekan Fakultas Ekonomi
- Drs. Jozef Raco, MSc

7. Dekan Fakultas Electronic Engineering
- Hendra Tarigan, M.S.

8. Dekan Fakultas Computer
- Dr. Rila Mandala, MSc., Ph.D

9. Pjs. Dekan Fakultas Communication
- Hendra Manurung, MA

10. Head of Internship & Industrial Relation
- Maria Jacinta, MMGT-HRM

11. Some of Our Lecturers:
• Maria Jacinta, MMGT-HRM
• Nur Hadisukmana, MSc
• Andrew Stewart Mewburn
• Paul Preston
• Ir. Erny Hutabara, MBA
• Ir. BMAS Anaconda Bangkara, MTI
• Dr. Erwin Ramedhan
• Dr. Erwin Parasian Sitompul, ST., MSc
• Anthon Stevanus Tondo, SE, MBA
• Joachim D. Kokomaking, MSi.
• Herwan Yusmira, BSc.MET, Dipl.-Mtech
• Dr. Maximus Renyaan, MA
• Manivasugen, MBA, DISM
• Sandy Darmowinoto, MIT
• Drs. Bruno Rumyaru, MA
• Hendra Manurung, MA
• Mahayoni, SH
• Antonius Suhartomo, MEng., MM, Ph.D.
• Rikip Ginanjar, MSc.
• Aditia Rusmawan, MSc.
• Purwanto, ST, MM.
• Moh. Irfan Sofyan, SE., MA
• Yayas Murdowo, SE, CPMA
• Choirul Anwar SE Ak, MBA, MAFIS
• Dian Tauriana, SE, MSc.
• Hery Hamdi Azwir, MT.
• Yunita Ismail Masjud, MBA
• Dian Tauriana, MSc.
• Gan Thay Kong, Dipl. Wirt. Ing.
• Marc Carmichael Brown, MA

Thursday, February 19, 2009

Faculties Available at President University

There 5 faculties available at President University:

1. Faculty of Economics
a) Management
Concentration:
0 Marketing
0 Banking and Finance
0 Hotel and Tourism
0 Human Resources
0 International Business
b) Accounting

2. Faculty of Communication
a) Public Relations
b) Visual Communication Design

3. Faculty of Computing
a) Information Technology
b) Information System

4. Faculty of Engineering
a) Industrial Engineering
b) Electrical Enginerring

5. Faculty of Social and Political Sciences
a) International Relation
b) Business Administration

Kehilangan Terbesar Bangsa Indonesia

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk R&D (Research and Development) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Saat ini memasuki perguruan tinggi berarti membeli jasa pendidikan tinggi. Keputusan memilih sebuah Perguruan Tinggi merupakan suatu keputusan investasi. Investasi itu harus menguntungkan konsumen setelah dinyatakan lulus oleh Perguruan Tinggi. Karena selain membutuhkan dana yang besar, kuliah di perguruan tinggi juga menghabiskan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, konsumen pendidikan tinggi harus memiliki strategi memilih suatu Perguruan Tinggi yang baik dan berkualitas.

Mengapa saat ini, banyak orang yang ingin KULIAH ke luar negeri ?
Dua penyebab utamanya adalah perusahaan-perusahaan di seluruh dunia semakin menyadari bahwa pendidikan internasional makin penting di perekonomian global, dan globalisasi karir juga memaksa masyarakat mengambil kualifikasi internasional agar tidak ketinggalan. Saat ini kuliah ke luar negeri menjadi pilihan, baik untuk program S1 maupun jenjang studi yang lebih tinggi. Beberapa negara menawarkan program bantuan atau beasiswa pendidikan ke luar negeri.

Setelah Lulus SMU mau ke mana ?. Bagi yang ingin meneruskan kuliah, salah satu alternatif adalah menimba ilmu di luar negeri. Ketakutan tentang biaya kuliah yang mahal tidak lagi jadi satu alasan untuk melirik peluang ke sana. Hal ini diungkapkan oleh Rendy Djauhari, PR & Marketing Coordinator Nederlands Education Centre (NEC). "Segi harga cukup kompetitif dengan negara lain bahkan dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia".

Selama ini, pemerintah Indonesia tampaknya menyia-nyiakan dana pendidikan menguap ke luar negeri yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Yang menguap ini adalah biaya studi anak bangsa ke luar negeri. Padahal, dana itu tidak akan pergi, jika pemerintah menerapkan kebijakan transfer kredit. Mengutip pernyataan Sudino Lim, CEO INTI COLLEGE INDONESIA, bahwa setidaknya hampir 18 ribu mahasiswa Indonesia yang studi ke Australia, setiap tahunnya. Di Negeri Kangguru tersebut, untuk menempuh gelar S1 butuh waktu minimal 3,5 tahun. Biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 800 juta. Jika ditotal, biaya tersebut sudah mencapai triliunan rupiah. Semuanya masuk ke devisa Australia. Itu baru biaya pendidikannya, belum lagi apabila mahasiswa tersebut mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal atau beli apartemen, pariwisata, jalan-jalan dan biaya makan serta biaya hidup lainnya di sana. Ternyata biaya mahasiswa Indonesia yang belajar disana telah menyumbangkan 10 persen dari APBN Australia.

Bagaimana dengan negara tetangga Indonesia ?. Kita ambil contoh Singapura dan Malaysia. Pemerintah Singapura dan Malaysia untuk mencegah mahasiswanya belajar ke luar negeri, mereka menerapkan transfer kredit yaitu dengan program 1+ 2, 2+1, 2+ 2 atau 3+ 0 artinya (lihat tabel).

Program Keterangan
1 + 2 Belajar 1 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 2 tahun di luar negeri + Wisuda
2 + 1 Belajar 2 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 1 tahun di luar negeri + Wisuda
2 + 2 Belajar 2 tahun di dalam negeri, kemudian belajar 2 tahun di luar negeri + Wisuda
3 + 0 Belajar 3 tahun di dalam negeri, kemudian wisuda diluar negeri (alternatif)


Metode transfer kredit adalah sistem memindahkan standar studi kurikulum luar negeri ke dalam negeri yang berdampak pada penghematan biaya pendidikan. Caranya, kampus di dalam negeri bekerja sama dengan kampus-kampus besar & terkenal serta mempunyai reputasi akademik yang bagus di luar negeri, kemudian kampus di dalam negeri tersebut menerapkan sistem studi yang berstandar kurikulum luar negeri dalam batas waktu tertentu. Mulai dari proses penerimaan mahasiswa baru, bahasa pengantar, kurikulum, silabus mata kuliah harus sesuai dengan yang digunakan di kampus luar negeri tersebut.

Meskipun kurikulum internasional dan metode transfer kredit telah diterapkan di PRESIDENT UNIVERSITY, ironisnya, pemerintah Indonesia malah belum menyadari pentingnya hal tersebut. Pemerintah membiarkan putra-putri bangsa ini belajar ke luar negeri dengan cara konvensional. Yaitu begitu lulus SMA, mereka antri untuk mendapatkan beasiswa, agar bisa belajar ke luar negeri, atau, orangtua siswa, mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk studi anaknya ke luar negeri. Selain negara tetangga Indonesia, di beberapa negara di asia juga telah menerapkan kebijakan transfer kredit.

Dengan sistem transfer kredit tersebut, sudah terasa berapa besarnya biaya yang bisa dicegah untuk tidak menguap ke luar negeri. Karena dengan sistem tersebut selain biaya pendidikan bisa ditekan, juga kebocoran devisa negara di sektor pendidikan tinggi bisa ditahan. Selain itu pula biaya pendidikan akan sangat murah karena masing-masing kampus di Australia mensubsidi biaya pendidikan hingga 75 persen dari biaya sebenarnya. Dengan sistem transfer kredit, uang yang seharusnya lari ke luar negeri bisa berputar-putar di negeri sendiri, sehingga secara tidak langsung menjadi devisa negara. Sekarang bayangkan manfaat besarnya kalau kita bisa menciptakan universitas berstandar internasional di negeri kita sendiri?

Disisi lain, informasi tentang peluang kerja di luar negeri juga cukup besar dan banyak, khususnya peluang kerja di bidang teknologi informasi. Sebagai gambaran bahwa kebutuhan terhadap tenaga IT di bidang industri software baik di luar negeri maupun di dalam negeri, adalah sebagai berikut : Tenaga IT di luar negeri, untuk tahun 2015, diperkirakan 3,3 juta lapangan kerja. Sedangkan Tenaga IT domestik, berdasarkan proyeksi pertumbuhan industri pada tahun 2010, target produksi US $8.195.33 dengan asumsi produktifitas 25.000 perorang, sehingga dibutuhkan tenaga kerja sekitar 327.813 orang.

Selain contoh di atas, kita ambil negara lain seperti Jerman. Jumlah yang dibutuhkan juga tidak dibilang sedikit. Tercatat saat ini sekitar 75.000 orang diperlukan oleh Jerman. itu baru Jerman, kita lihat India. Negara India membutuhkan tenaga di bidang TI sebanyak 120.000 orang. Tahukah Anda ternyata negara sebesar dan semaju Amerika Serikat pun masih mengimpor tenaga TI dari negara-negara di Asia, seperti Cina, Jepang, Korea, Philipina, Singapura dan Malaysia. Nah, bagaimana dengan Indonesia ???.

Bangsa Indonesia hanya akan bangkit jika bangsa ini mengenali kembali jati dirinya yang telah dilupakan. Bangsa Indonesia akan berjaya kembali jika nilai-nilai luhur yang pernah ada kembali tampil memimpin kembali bangsa ini menuju cita-citanya. Masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita berdirinya bangsa Indonesia hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras dan juga proses pengenalan kembali jati diri bangsa. Dengan mengenal jati dirinya bangsa ini akan tahu kelemahan-kelemahan apa yang selama ini melekat erat, kelebihan dan kekuatan apa saja yang selama ini dimiliki dan masih juga dilupakan. Terbitnya kesadaran pada kelemahan dan kekuatan yang dimiliki, akan membuat bangsa Indonesia mengerti kearah mana dia harus melangkah. Dan jika tahu kearah mana akan melangkah, maka bangsa ini akan berjuang keras bergerak menuju arah tujuan hidupnya.
(Dari berbagai narasumber)